Timnas Jepang Memberikan Pelajaran Bagaimana cara Bermain Bola kepada Indonesia
Selasa sore itu di Osaka, cuaca cukup bersahabat. Tapi bagi Timnas Indonesia, tak ada yang terasa ramah di Stadion Suita malam itu. Mereka baru saja menelan kekalahan pahit, kekalahan yang lebih terasa seperti tamparan keras di wajah: 0-6 dari Jepang.
Namun, ini bukan sekadar kekalahan. Ini adalah pembelajaran yang, meski menyakitkan, amat penting. Karena saat kita bicara soal Jepang dalam dunia sepak bola hari ini, kita tidak lagi membahas tim yang sekadar jadi langganan Piala Dunia. Kita bicara tentang sebuah mesin sepak bola yang sedang bergerak mantap menuju level juara dunia.
Dari peluit awal, segalanya terlihat berbeda. Jepang bermain seperti orkestra yang sudah hapal betul notasi dan iramanya. Sementara Timnas Indonesia terlihat seperti pemain baru yang masih belajar menyamakan nada.
Jepang menyerang dengan gaya khas mereka—tajam, cepat, dan penuh perhitungan. Pergerakan mereka terasa seperti tarian yang terlatih: para pemain membuka ruang, mengalirkan bola, terus bergerak tanpa henti. Setiap operan seperti tahu pasti siapa penerimanya. Seolah seluruh tim memiliki satu pikiran yang sama.
Sementara itu, Indonesia… lebih sering terlihat mengejar bayangan lawan ketimbang mengejar bola.
Diserang dari Sisi Lemah
Enam gol bersarang ke gawang Emil Audero. Enam gol yang tak satupun lahir dari keberuntungan semata. Semuanya berasal dari skema yang sederhana tapi mematikan. Jepang tahu persis titik lemah pertahanan Indonesia, dan mereka menyerang tanpa ampun.
Lini kanan pertahanan Indonesia jadi bulan-bulanan. Mees Hilgers, Kevin Diks, dan juga Sayuri bersaudara tampak kewalahan. Bukan karena mereka tidak berusaha, tapi karena lawan yang mereka hadapi terlalu sistematis dan terlalu rapi dalam menyerang.
Dua gol bahkan tercipta karena kecemerlangan individu pemain Jepang. Lihat bagaimana Daichi Kamada mempermainkan dua bek Indonesia sebelum mencetak gol ketiga. Atau bagaimana Shuto Machino menyelesaikan umpan cungkil dari Takefusa Kubo dengan sempurna.
Jepang mencatatkan 21 tembakan, 19 di antaranya terjadi dari dalam kotak penalti. Itu bukan statistik biasa. Itu adalah tanda betapa terbukanya pertahanan Indonesia. Dan keenam gol Jepang? Ya, semuanya berasal dari dalam kotak penalti.
Tim Lapis Kedua yang Menghancurkan
Yang membuat segalanya makin menyesakkan adalah kenyataan bahwa Jepang menurunkan banyak pemain pelapis. Tapi mereka tetap tampil disiplin, rapi, dan penuh semangat. Inilah yang membuat pelatih Hajime Moriyasu pantas tersenyum bangga.
Tim ini bukan hanya kuat di atas kertas, tapi juga dalam praktik. Akurasi umpan mereka mencapai 90,4 persen—nyaris sempurna. Bahkan ketika menembus pertahanan Indonesia, akurasi mereka masih 85,2 persen. Sebuah angka yang memperlihatkan betapa tingginya standar permainan Jepang.
Transisi bertahan mereka juga luar biasa. Begitu Indonesia menguasai bola, pressing tinggi langsung diterapkan. Pemain Indonesia tak sempat berpikir. Bola langsung direbut tanpa banyak pelanggaran. Sepanjang laga, Jepang hanya melakukan 6 pelanggaran. Enam.
Sebaliknya, Timnas Indonesia lebih sering seperti kehilangan arah. Dengan penguasaan bola hanya 29 persen, para pemain lebih sering berlari mengejar bola, bukan mengendalikan permainan. Tak ada satupun tembakan ke gawang Jepang. Bahkan akurasi umpan silang Indonesia tercatat 0 persen.
Sulit mengatakan apakah ini karena strategi Patrick Kluivert yang tak berjalan, atau eksekusi para pemain yang tak sesuai rencana. Tapi satu hal yang jelas: koordinasi antarpemain Indonesia kacau. Jarak antar lini terlalu jauh, dan setiap serangan seperti usaha putus asa tanpa tujuan.
Dan mungkin salah satu momen paling menyentuh malam itu terjadi saat pertandingan usai. Kamera menyorot Yance Sayuri, yang duduk di tepi lapangan, menangis. Wajahnya penuh luka dan darah karena duel keras selama laga. Tapi lebih dari luka fisik, ada luka emosional yang dalam.
Dia merasa gagal. Bukan hanya untuk tim, tapi untuk seluruh bangsa yang menaruh harapan besar pada Timnas Indonesia.
Jay Idzes, Marselino Ferdinan, Emil Audero, dan manajer Sumardji mencoba menenangkannya. Tapi kesedihan itu tak mudah dihapus. Yance bukan satu-satunya yang merasa seperti itu. Seluruh tim tahu, mereka baru saja mengecewakan jutaan mata yang menonton dari Indonesia.
Harapan Tak Boleh Padam
Tentu saja kritikan datang bertubi-tubi dari media sosial. Tapi itu adalah bagian dari cinta. Fans marah karena mereka peduli. Karena mereka mulai percaya bahwa Timnas Indonesia bisa lebih. Ini bukan lagi soal Piala AFF, ini tentang mimpi besar: lolos ke Piala Dunia.
Bayangkan saja, kalau Indonesia bisa juara Piala AFF saja sudah membuat rakyat berpesta, bagaimana jika Garuda bisa terbang tinggi ke panggung dunia?
Dan ya, peluang itu belum sepenuhnya hilang. Kekalahan dari Jepang memang menyakitkan, tapi juga bisa jadi titik balik. Sebuah cambuk keras yang menyadarkan bahwa kita belum sampai di sana—tapi bukan berarti kita tak bisa sampai.
Patrick Kluivert harus menjadikan laga ini sebagai bahan evaluasi besar. Masih ada waktu hingga Oktober sebelum fase keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki, belajar, dan bangkit.
Timnas Indonesia belum selesai. Kekalahan ini bukan akhir cerita, tapi justru awal dari perjuangan yang sesungguhnya. Jepang telah menunjukkan bahwa jalan menuju Piala Dunia itu tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin.
Kini semua kembali kepada kita: apakah kita hanya akan meratap, atau mulai bergerak dan belajar dari tamparan ini?
Karena satu hal yang pasti: Garuda memang sedang belajar terbang tinggi. Dan setiap burung hebat pun pernah jatuh sebelum mencapai langitnya.
Post a Comment