Shin Tae Yong Memantau TImnas Indonesia dari Bilik Rumah Sakit
Di sebuah kamar rumah sakit yang tenang, sinar matahari sore menyusup lewat jendela kecil, memantul pelan pada alat-alat medis yang mengelilingi tempat tidur. Di atas ranjang itu, tubuh seorang pria terbujur diam, wajahnya pucat namun penuh keteguhan. Tubuhnya sedang melawan radang yang menyebar seperti api dalam sekam, namun pikirannya terbang jauh ke stadion-stadion di Asia, tempat Tim Nasional Indonesia tengah menuliskan sejarah.
Shin Tae-yong, pria asal Korea Selatan yang selama enam tahun mengabdikan hidupnya demi sepak bola Indonesia, tidak pernah benar-benar pergi. Meski namanya sudah tak lagi tercantum dalam struktur kepelatihan Garuda, hatinya tetap memukul ritme yang sama dengan para pemain yang dulu ia tempa. Ia menyaksikan laga-laga penting dari layar kecil di dinding kamar, saat Indonesia menghadapi dua tantangan besar di babak akhir Grup C Kualifikasi Piala Dunia 2026: China dan Jepang.
Setiap umpan silang, setiap sapuan bola, dan setiap peluit wasit seolah menggema lebih nyaring di benaknya daripada detak mesin infus yang terus memompa obat ke dalam tubuhnya. Dan ketika peluit akhir berbunyi di pertandingan terakhir, mengumumkan bahwa Indonesia lolos ke babak keempat, ada senyum yang mengembang di wajahnya sebuah senyum lega, tapi juga getir.
Ia mengangkat ponselnya, merekam pesan singkat yang akan dikirimkan pada media: “Para pemain Indonesia bermain sangat baik. Melaju ke putaran keempat merupakan prestasi yang luar biasa bagi tim nasional Indonesia. Saya kira mereka akan lebih berani di putaran empat.”
Itu bukan hanya sekadar ucapan selamat. Di balik kata-kata itu, tersembunyi rasa cinta dan keterikatan yang mendalam pada tim yang pernah ia bentuk dari tanah yang nyaris tandus. Tae-yong datang ke Indonesia pada 2019, menggantikan Simon McMenemy. Kala itu, tim nasional Indonesia sedang limbung, kehilangan arah dan kepercayaan diri. Ia datang dengan visi dan ketegasan, membawa sistem yang ketat namun penuh harapan.
Selama enam tahun, ia menyusun ulang fondasi tim, bukan hanya dari segi taktik, tapi juga dari sisi mental. Ia membangun tim nasional dari nol, menanamkan keberanian untuk bermimpi lebih tinggi. Ia membawa anak-anak muda yang dahulu hanya dikenal di liga domestik menjadi sosok yang ditakuti di pentas Asia Tenggara, bahkan mulai menggeliat di Asia yang lebih luas.
Namun, semua kisah indah memiliki bab terakhir. Pada awal Januari 2025, PSSI mengambil keputusan mengejutkan: mencopot Tae-yong dari jabatannya dan menunjuk Patrick Kluivert, legenda Belanda, sebagai penggantinya. Publik sepak bola tanah air terguncang. Media sosial bergemuruh. Banyak yang tak bisa menerima kenyataan bahwa pelatih yang telah begitu lama menjadi arsitek kebangkitan sepak bola nasional harus pergi begitu saja.
Tae-yong menerima keputusan itu dengan diam. Tidak ada protes, tidak ada perlawanan. Ia tahu, dalam dunia sepak bola, hasil bukan satu-satunya yang menentukan nasib seorang pelatih. Ada politik, ada ekspektasi yang berubah seiring waktu, dan ada kebutuhan akan wajah baru yang lebih segar. Tapi yang tak pernah bisa dicabut dari dirinya adalah rasa memiliki terhadap para pemain yang pernah ia latih, dan impian yang dulu ia tanamkan bersama mereka.
Kini, dari kejauhan, ia hanya bisa memberikan masukan. Ia tahu tantangan yang menanti di babak keempat akan jauh lebih berat.
“Putaran empat akan digelar di negara Timur Tengah dengan iklim dan lingkungan yang sangat berbeda,” lanjutnya dalam wawancara eksklusif dengan SPOTV. “Mereka perlu menjaga kondisi dengan sangat baik. Secara khusus, mereka perlu mempersiapkan diri dengan baik secara fisik.”
Ia memahami betul karakteristik tim-tim dari kawasan itu: agresif, cepat, dan memiliki organisasi permainan yang sangat disiplin. Ia mengingatkan, “Akan sangat bagus jika mereka dapat memaksimalkan organisasi pertahanan. Jika menganalisis permainan tim Timur Tengah dengan baik, mereka dapat menemukan cara untuk menerobos pertahanan lawan. Mereka pasti dapat membawa hasil yang tidak terduga.”
Sementara itu, skuad Garuda kini sudah dibubarkan untuk kembali ke klub masing-masing, atau sekadar mengambil jeda yang memang mereka butuhkan setelah perjuangan panjang. Libur bukan berarti melupakan. Di balik latihan klub dan keseharian mereka, semua pemain tahu bahwa panggilan internasional pada bulan September akan menjadi titik awal dari pertarungan baru. Lawan mereka nanti bukan sembarang tim Kuwait dan Lebanon adalah ujian sesungguhnya untuk mengukur sejauh mana mereka siap menghadapi putaran empat yang akan datang hanya sebulan setelahnya.
Di tengah semua itu, nama Shin Tae-yong tetap hidup. Ia adalah bayang-bayang yang tak akan mudah hilang dari sejarah sepak bola Indonesia. Mungkin ia tidak lagi duduk di bangku pelatih, tidak lagi meneriakkan instruksi dari pinggir lapangan, tapi semangat dan filosofi yang ia tanamkan masih berdenyut dalam setiap langkah para pemain muda Garuda.
Dan di kamar rumah sakit itu, di antara aroma antiseptik dan selimut hangat, Shin Tae-yong menatap layar yang kini menampilkan highlight pertandingan terakhir. Matanya berkaca-kaca, tapi bukan karena sakit. Itu adalah air mata kebanggaan dan mungkin, sedikit kerinduan.
Ia tahu, meski dirinya tak lagi menjadi nakhoda, kapal ini akan terus berlayar. Dan siapa tahu, suatu hari nanti, angin akan membawanya kembali.
Post a Comment