Bukan Cristiano Ronaldo, tapi Pemain Asia Tenggara ini yang Memiliki Gaji Tertinggi di Dunia
Di dunia sepak bola Asia Tenggara, satu nama tak pernah luput dari perhatian: Faiq Jefri Bolkiah. Namun, saat nama itu muncul dalam percakapan, biasanya bukan karena skill menggocek bola atau torehan gol spektakuler. Ia bukan bintang lapangan seperti Son Heung-min dari Korea Selatan atau Chanathip Songkrasin dari Thailand. Justru, yang paling sering disebut saat bicara tentang Faiq adalah satu hal: kekayaannya yang luar biasa.
Bukan rahasia lagi bahwa Faiq Bolkiah adalah anggota keluarga kerajaan Brunei Darussalam. Ia adalah keponakan dari Sultan Brunei, Hassanal Bolkiah, salah satu penguasa dengan kekayaan terbesar di dunia. Nama keluarganya identik dengan kemewahan: istana berlapis emas, koleksi mobil supermewah, dan pesta yang tak terbayangkan oleh kebanyakan orang.
Namun, yang membuat cerita Faiq menarik bukan hanya tentang kekayaannya. Justru, pesona kisahnya muncul dari keinginannya untuk tidak dikenal karena itu.
Kini, Faiq bermain untuk Ratchaburi FC di Liga Thailand, jauh dari gemerlap Liga Inggris atau Liga Spanyol. Banyak yang mungkin bertanya-tanya: mengapa pria yang disebut-sebut sebagai “pesepak bola terkaya di dunia” justru bermain di liga Asia Tenggara? Jawabannya tidak semudah yang dibayangkan. Sebab, bagi Faiq, sepak bola adalah panggilan hati bukan sekadar panggung.
“Saya orang yang sangat sederhana. Jadwal saya sama setiap hari. Saya hanya ingin fokus pada sepak bola,” ungkapnya dalam wawancara eksklusif dengan Mainstand Thailand di penghujung tahun 2021, tak lama setelah ia tiba di Negeri Gajah Putih.
Jawaban itu mungkin terdengar klise di telinga awam. Tapi jika keluar dari mulut seseorang yang lahir dalam lingkungan kerajaan dan bisa memilih hidup dalam kemewahan tanpa perlu bekerja sehari pun, kalimat itu justru terasa tulus dan menggugah. Faiq tidak mengejar sorotan, ia mengejar mimpi.
Bukan Jalan yang Mulus
Meskipun berasal dari keluarga dengan sumber daya tak terbatas, jalan Faiq di dunia sepak bola jauh dari kata mudah. Ia tak langsung menembus tim utama klub-klub top Eropa meski sempat mengenyam pendidikan di akademi elite seperti Southampton, Chelsea, dan Leicester City. Di usia muda, Faiq terlihat memiliki potensi, namun kompetisi di Eropa sangat ketat.
Ia kemudian mencoba peruntungannya di Portugal, bergabung dengan klub MarÃtimo, tetapi lagi-lagi, bukan performanya yang menjadi headline, melainkan nama belakangnya. Di mana pun ia berada, bayang-bayang kekayaan keluarganya selalu menyusul, membentuk persepsi publik sebelum bola pertama pun disentuh.
Jurnalis asal Singapura, Gary Koh, yang pernah mewawancarai Faiq pada 2015, mengenang sosok muda yang tenang dan tidak terguncang oleh gemerlap perhatian media.
“Dia sangat percaya diri. Tidak terpengaruh sorotan, meski saat itu ia dikawal cukup ketat. Yang paling mengesankan adalah keinginannya untuk diakui bukan karena darah birunya, tetapi karena kerja kerasnya di lapangan,” ungkap Koh.
Namun, justru karena sikap diam Faiq terhadap pemberitaan tentang kekayaannya, banyak mitos pun berkembang. Media internasional berlomba-lomba menyebutkan angka kekayaan Faiq yang fantastis. Bahkan ada yang menyebut ia memiliki kekayaan mencapai 20 miliar dolar AS, angka yang membuatnya disebut lebih kaya daripada gabungan Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi.
Tapi apakah benar demikian?
Realita di Balik Mitos
Menurut analis politik internasional Dr. Mustafa Izzuddin, klaim itu kemungkinan besar dibesar-besarkan. Memang benar Faiq merupakan bagian dari keluarga kerajaan Brunei, namun ia bukanlah pewaris utama dari kekayaan negara tersebut. Struktur kekayaan keluarga kerajaan Brunei sangat kompleks, dengan pembagian aset yang tidak serta-merta membuat setiap anggota keluarga otomatis memiliki kekayaan miliaran dolar.
“Faiq memang berasal dari keluarga yang sangat berkuasa dan kaya, tapi dia bukan pewaris tahta langsung. Banyak informasi publik yang salah kaprah dan mengasumsikan kekayaan keluarga kerajaan langsung menjadi milik pribadi,” jelas Dr. Mustafa.
Dengan kata lain, meskipun Faiq hidup nyaman dan memiliki akses ke banyak fasilitas yang mungkin tak bisa dijangkau pemain lain, statusnya sebagai pesepak bola tetaplah berkat usahanya sendiri—bukan karena kekayaan.
Membangun Identitas Baru
Faiq Bolkiah tahu bahwa namanya akan selalu dikaitkan dengan Brunei dan kekayaan tak terhingga. Tapi ia tak menyerah begitu saja untuk membentuk identitasnya sendiri. Di Liga Thailand, ia menemukan ruang untuk bertumbuh, tampil, dan bersaing di level yang lebih seimbang. Ia tidak lagi dibebani ekspektasi sebagai "pangeran" yang bermain sepak bola, melainkan sebagai pemain profesional yang dihargai karena kontribusinya di lapangan.
Langkah ini bisa jadi strategi cerdas. Alih-alih bertahan di Eropa dengan menit bermain yang terbatas, ia memilih bermain di lingkungan yang lebih memberinya kesempatan aktualisasi diri. Di Ratchaburi FC, Faiq mendapat menit bermain reguler dan tanggung jawab yang nyata, jauh dari sorotan berlebihan dan tekanan yang mungkin mengganggu fokus.
Lebih dari Sekadar Warisan
Cerita Faiq Bolkiah bukan hanya soal sepak bola atau kemewahan. Ini adalah kisah tentang mencari makna hidup di tengah ekspektasi besar. Ia bisa saja menjalani hidup sebagai anggota kerajaan dengan segala kemudahan, namun ia memilih sesuatu yang jauh lebih sulit: membangun identitas sebagai atlet sejati.
Apakah Faiq akan menjadi legenda lapangan hijau? Mungkin tidak. Tapi ia sudah memenangkan sesuatu yang lebih penting—hak untuk menentukan siapa dirinya, terlepas dari apa yang dunia kira tentangnya.
Dan mungkin, dalam diamnya, ia sedang memberi pelajaran kepada kita semua: bahwa harga dari sebuah mimpi sejati, bahkan bagi mereka yang lahir dalam istana, tetap harus dibayar dengan keringat dan tekad.
Post a Comment